Naskah Kehidupan
Orang
bilang hidup itu singkat sekali, hari ini sedih esoknya bahagia. Hari ini
bangga esoknya kecewa. Sudahlah, ini sudah naskah kehidupan. Jalani saja dengan
ikhlas. Aku adalah salah satu anak yang menderita dibanding anak-anak lainnya di
sekolahku. Namanya juga sekolah ternama, banyak orang dengan kekayaan melimpah
bersekolah di tempat itu. Mereka bisa saja memenuhi keinginannya dalam sekejap.
Menghabiskan uang, pindah dari satu kafe ke kafe lain pun membeli ini dan itu
semuanya dilakukan semaunya saja.
Tapi
aku berbeda, aku hanya orang yang beruntung bisa bersekolah di tempat ini.
Tidak ada yang bisa dibanggakan, namun tidak berarti tujuanku tidak ingin
membanggakan. Orangtua adalah prioritas utama, mereka juga salah satu semangat
yang ku miliki saat aku berada pada titik kesedihan yang mendalam. Tidak, bukan
ciri khasku berbagi semua pilu. Aku bahkan lebih suka memendam dibanding
mengumbar. Pernah, ingin sekali ku berikan kalung untuk ibu sebagai hadiah
untuk ulang tahunnya. Aku pun mencoba menabung selama satu bulan untuk memenuhi
keinginan tersebut. Maka mengurangi pengeluaran adalah jalan terbaik untuk
menambah pemasukan. Bahkan perlu mati-matian berjuang menahan lapar demi
tujuan itu. Aku memang
begitu jika sudah menginginkan sesuatu. Terus terang, aku menderita.
Suatu
ketika saat sepulang sekolah aku melihat seorang anak yang menjual gorengan
keliling mencari pembeli. Dulu setiap melihat anak-anak yang menjual seperti
itu pikiranku selalu saja digerogoti oleh sebuah pertanyaan umum. Mengapa
mereka melakukan hal itu? Bukankah di umur yang masih muda mereka seharusnya
menempuh pendidikan yang layak? Aku memutuskan untuk memanggilnya dengan niat
ingin membeli jualannya. Tapi sungguh itu bukanlah niat yang sebenarnya.
“Kemarilah
Dik, berapa harga bakwannya?” aku mulai bertanya.
“Seribu rupiah Kak.” dia menjawab sebagaimana mestinya percakapan antara penjual dan pembeli. Aku pun mengambilnya dan meminta agar dia bersedia duduk menemani menghabiskan bakwan itu. Di sinilah tujuanku, sengaja membuatnya dekat agar aku bisa memberikan pertanyaan yang ingin sekali ku temukan jawabannya.
“Seribu rupiah Kak.” dia menjawab sebagaimana mestinya percakapan antara penjual dan pembeli. Aku pun mengambilnya dan meminta agar dia bersedia duduk menemani menghabiskan bakwan itu. Di sinilah tujuanku, sengaja membuatnya dekat agar aku bisa memberikan pertanyaan yang ingin sekali ku temukan jawabannya.
“Kau
masih sekolah?”
“Sudah
tidak lagi.” ekspresinya seakan tidak suka dengan pertanyaan itu.
“Lalu kenapa harus putus sekolah?” aku belum menyerah.
“Sebelumnya bersekolah, sekarang jika aku masih sekolah maka seharusnya aku sudah
“Lalu kenapa harus putus sekolah?” aku belum menyerah.
“Sebelumnya bersekolah, sekarang jika aku masih sekolah maka seharusnya aku sudah
kelas
4 SD..” Dia mulai terbuka. “Lalu kenapa harus putus sekolah?” tanyaku lebih
dalam lagi.
“Karena dulu aku tinggal di rumah Ayah, waktu itu Ayah menyuruhku menjaga hewan kesayangannya itu, namanya si beok. Dia burung yang sangat pandai. Namun karena ketiduran akhirnya entah bagaimana caranya burung itu lepas hingga membuat Ayah seketika marah dan mengamuk mengambil kayu lalu mengusirku dari rumah. Hanya karena itu.” kesedihan mulai terlihat jelas dari garis matanya.
“Karena dulu aku tinggal di rumah Ayah, waktu itu Ayah menyuruhku menjaga hewan kesayangannya itu, namanya si beok. Dia burung yang sangat pandai. Namun karena ketiduran akhirnya entah bagaimana caranya burung itu lepas hingga membuat Ayah seketika marah dan mengamuk mengambil kayu lalu mengusirku dari rumah. Hanya karena itu.” kesedihan mulai terlihat jelas dari garis matanya.
“Lalu Ibumu?” aku belum puas dengan
jawabannya.
“Ibu dan Ayah sudah lama bercerai. Ketika Ayah mengusirku aku langsung saja menemui Ibu di rumahnya, namun Ibu tidak punya cukup uang untuk membiayai sekolahku, akhirnya ku putuskan untuk berhenti bersekolah saat kelas dua, waktu itu umurku sudah delapan tahun. Aku benar-benar kasihan melihat Ibu..” Kali ini dia benar-benar tidak ragu bercerita.
“Ibu dan Ayah sudah lama bercerai. Ketika Ayah mengusirku aku langsung saja menemui Ibu di rumahnya, namun Ibu tidak punya cukup uang untuk membiayai sekolahku, akhirnya ku putuskan untuk berhenti bersekolah saat kelas dua, waktu itu umurku sudah delapan tahun. Aku benar-benar kasihan melihat Ibu..” Kali ini dia benar-benar tidak ragu bercerita.
Seketika hatiku tersentak mengetahui
kisah itu. Aku bahkan sadar dalam sekejap, aku bukan orang yang paling
menderita. Di luar
sana, sangat banyak yang ingin bersekolah tapi mereka terbatas akan biaya.
Seharusnya aku harus bersyukur dengan semua yang ku miliki saat ini. Keluarga,
teman, cinta, dan kasih sayang dari mereka adalah sebuah anugerah yang harus ku
jaga. Sejatinya Tuhan tahu yang kita butuhkan, kelak kita akan akan menemukan
jawaban kenapa begini dan begitu ketika kita terus berusaha memahami hidup.
Bukan hanya terus menuntut bilang ingin mendapatkan yang terbaik dari yang terbaik.
Hikayat
: Si Miskin
Alkisah
maka tersebutlah perkataan Mara Karmah berjalan dua bersaudara itu, maka tuan
Puteri Nila Kesuma itu pun menangis hendak minum susu, maka Mara Karmah pun
menangis seraya berkata, “Diamlah adinda jangan menangis, karena kita orang
celaka, di manakah kita boleh mendapat susu, lagi kita sudah dibuangkan orang.”
Maka diberinyalah kepada adiknya ketupat itu sebelah, maka dimakannyalah. Maka
ía pun diamlah. Maka sampai tujuh hari tujuh malam Ia berjalan itu, maka
ketupat yang tujuh biji itu habislah dimakan oleh tuan Puteri Nila Kesuma itu,
karena diberikannya kepada adiknya pagi sebelah, dan petang sebelah. Setelah
habis ketupat itu, maka tuan Puteri Nila Kesuma itu pun menangis pula hendak
makan. Maka diambil oleh Mara Karmah segala tarik kayu dan umbut-umbut dan
buah-buahan kayu yang di dalam hutan itu yang patut dimakannya, maka
diberikannya kepada saudaranya itu. Dan barang di mana ia bertemu dengan air,
maka dimandikannyalah akan saudaranya.
Syahdan
beberapa lamanya, ía berjalan itu, maka beberapa bertemu dengan gunung yang
tinggi-tinggi dan padang-padang yang luas-luas, dan tasik yang berombak seperti
lain, tempat segala dewa—dewa, peri mambang indera candara jin. Maka raja-raja
jin di sanalah tempat bermain lancang, berlomba-lomba. Di sanalah ia banyak
beroleh kesaktian, diberi oleh segala anak raja-raja itu, diangkat saudara oleh
mereka itu sekalian akan dia dan beberapa ia bertemu dengan binatang yang
buas-buas, seperti ular naga buta raksasa. Sekaliannya mereka itu memberi kesaktian
kepada Mara Karmah.
Syahdan, beberapa ia melihat kekayaan
Allah Subhanahu wa Ta’aIa berbagai-bagai dan ajaib-ajaib. Maka bertemulah ia
dengan bukit berjentera, tempat segala raja-raja, dewa bertapa itu di sanalah
tempatnya. Adapun Mara Karmah itu apabila ia bertemu dengan segala raja-raja
itu, maka tuan Puteri Nila Kesuma itu pun disembunyikannyalah. Dan jikalau ia
bertemu dengan segala binatang yang buas-buas, maka didukungnyalah akan
saudaranya itu, tiada diberinya lepas dari tubuhnya.
Hatta,
dengan demikian, maka ia pun sampailah kepada sepohon kayu beringin, terlalu
amat besar, dan adalah air turun dari atas gunung itu. Maka di sanalah ia
berhenti dan memandikan saudaranya. Maka tiba-tiba, melayanglah seekor burung
dari atas kepalanya, maka tuan Puteri Nila Kesuma pun menangis, minta
ditangkapkan burung yang terbang itu. Maka Mara Karmah pun melompat, lalu
disambarnya burung itu, dapat ditangkapnya, lalu diberikannya kepada
saudaranya. Maka sukalah hati saudaranya itu sambil katanya, “Bakarlah kakanda
burung ini kita makan!” Maka kata Mara Karmah, “Sabarlah dahulu tuan!” Maka
kedengaranlah bunyi ayam berkokok sayup-sayup, karena hutan itu dekat dengan
dusun orang negeri Palinggam Cahaya. Maka kata Mara Karmah kepada saudaranya
itu, “Tinggallah tuan di sini dahulu, biarlah kakanda pergi mencari api akan
membakar burung adinda itu” Maka sahut Puteri itu, “Baiklah kakanda pergi,
jangan lama-lama kakanda pergi itu.” Maka dipeluk dan diciumnya akan saudaranya
itu seraya katanya, “Janganlah tuan berjalan-jalan ke sana sini sepeninggal
kakanda ini, kalau-kalau tuan sesat kelak tiada bertemu dengan kakanda lagi”
Maka sahutnya, “Tiada hamba pergi kakanda.” Mara Karmah pun berjalan menuju
bunyi ayam berkokok itu, tetapi hati Mara Karmah itu tiada sedap berdebar—debar
rasanya, setelah sampai ia kepada dusun orang itu. Maka dilihatnya kebun orang
dusun itu terlalu banyak jadi tanam-tanaman, seperti ubi keladi, dan tebu,
pisang, kacang, dan jagung. Maka ia pun berjalanlah berkeliling pagarnya itu
menanti orang yang empunya kebun itu. Ia hendak meminta api. Setelah dilihat
oleh orang yang empunya kebun itu, maka katanya, “Anak si pencuri, demikianlah
sehari-hari perbuatanmu mencuri segala tanam-tanamanku ini sehingga habislah
jagung pisangku tiada berketahuan. Engkaulah yang mencuri. Maka sekarang hendak
ke mana engkau melarikan nyawamu itu daripada tanganku sekarang; sedanglah
lamanya aku menantikan engkau tiada juga dapat; baharulah sekarang aku bertemu
dengan engkau.” Maka ia berkata-kata itu sambil berlari menangkap tangan
Mara Karmah itu. Maka kata Mara Karmah, “Tiada aku lari, karena aku tiada
berdosa kepadamu; bukan aku orang pencuri, aku ini orang sesat, datangku ini
dari negeri asing hendak meminta api kepadamu.” Maka ditamparinyalah dan
digocohnya akan Mara Kanmah itu seraya katanya, “Bohonglah engkau ini!” Maka
kemala yang digendong oleh Mara Karmah yang diberi oleh bundanya itu pun
jatuhlah dari punggungnya. Setelah dilihat oleh orang dusun itu, maka
diambilnyalah, seraya katanya, inilah kemalaku engkau curi.’ Maka kata Mara
Karmah itu, “Nyatalah engkau ini berbuat aniaya kepadaku” Maka ia pun
terkenanglah akan saudaranya yang ditinggal di dalam hutan seorang dirinya itu,
Maka katanya dalam hatinya, “Wahai adinda tuan, betapa gerangan hal tuan
sepeninggal kakanda ini kelak, karena dianiaya oleh orang, matilah kakanda
tiada bertemu dengan tuan lagi. ”Maka ia pun menangis terlalu sangat, lalu
rebah pingsan tiada khabarkan dirinya. Maka kata orang dusun itu, “Apa yang
engkau tangiskan, sebab salahmu; itulah balasnya engkau makan jagungku” Maka
dilihatnya segala tubuh Mara Karmah itu habis bengkak-bengkak dan berlumur
dengan darah, dan tiada ia bergerak lagi. Maka pada sangka orang dusun itu,
sudahlah mati rupanya, maka diikatnyalah dengan tali dari bahunya sampai kepada
kakinya, seperti orang mengikat lepat, demikianlah lakunya ia mengikat Mara
Karmah itu. Setelah sudah diikatnya, maka diseretnyalah, dibawanya ke tepi
taut, lalu dibuangkannya ke dalam laut itu. Maka ia pun kembalilah ke rumahnya.
Analisis unsur intrinsik cerpen “Naskah
Kehidupan“ dan hikayat “Si Miskin
1. Tema
Dalam cerpen
“Naskah Kehidupan“ dan hikayat “Si Miskin“, tema yang diambil oleh si penulis
yaitu tentang bersyukur. Terlihat dari si penulis menceritakan tentang betapa
banyak orang yang tidak seberuntung kita.
2. Tokoh dan
penokohan
Cerpen “Naskah
Kehidupan“ mempunyai tokoh bernama Aku, Adik, dan Ayah
·
Aku mempunyai sifat empati yang tinggi
terhadap anak yang tidak seberuntungnya. Terlihat bahwa Aku menanyakan tentang
mengapa putuh harapan sekolahnya.
·
Adik memiliki sifat terbuka. Terlihat
dari Adik selalu menjawab pertanyaan Aku dengan tidak malu malu.
Hikayat “Si
Miskin“ mempunyai tokoh Mara Karmah, Puteri Nila dan Pemilik Kebun
Mara Karmah
bersifat penyayang, tekun, dan pemberani.
Bukti :
·
Maka diberinyalah kepada adiknya
ketupat itu sebelah, maka dimakannyalah. Dan barang di mana Ia bertemu dengan air, maka
dimandikannyalah akan saudaranya.
·
Di
sanalah ia banyak beroleh kesaktian, diberi oleh segala anak raja-raja itu
·
”Tiada
aku lari, karena aku tiada berdosa kepadamu
Puteri Nila Kesuma bersifat cengeng
Bukti
·
.
. . maka tuan Puteri Nila Kesuma itu pun menangis hendak minum susu.
·
Setelah habis ketupat itu, maka tuan Puteri
Nila Kesuma itu pun menangis pula hendak makan.
Pemilik kebun bersifat ceroboh dan pemarah.
Bukti:
·
Maka
ditamparinyalah dan digocohnya akan Mara Karmah itu seraya berkata, “Bohonglah
engkau ini!”.
3.
Latar
·
Latar
tempat
Peristiwa dalam cerpen “Naskah
Kehidupan” terjadi di Sekolah, Penjual Bakso, dan Rumah si Adik. Sedangkan dalam
penggalan hikayat “Si Miskin” terjadi di tempat-tempat yang dilalui Mara Karmah
selama perjalanan (gunung, padang luas, tasik, dusun).
·
Latar
waktu
Peristiwa dalam hikayat “Si Miskin”
terjadi pada keseluruhan waktu (pagi, siang,sore, dan malam). Sedangkan dalam
cerpen “Naskah Kehidupan” tidak dijelaskan secara mendetail.
4.
Sudut
pandang
Sudut pandang kutipan cerpen “Naskah
Kehidupan” yaitu orang pertama serba tahu. Terlihat bahwa penulis menggunakan
kata “Aku” dan mengetahui semua kejadian dalam cerpen tersebut.
Sudut pandang kutipan hikayat
tersebut yaitu sudut pandang orang ketiga serba tahu karena pengarang adalah
seseorang yang berada di luar cerita yang menampilkan tokoh cerita dengan
menyebutkan nama atau kata ganti ia, dia, dan mereka.
5.
Alur
Alur dalam cerpen “Naskah Kehidupan”
adalah alur maju. Pertamanya, si penulis menceritakan tentang kehidupan si Aku
di sekolah, lalu tiba tiba bertanya ke pedagang bakso dan kemudian si
anak kecil pedagang bakso itu menceritakan tentang kejadiannya secara alur
maju.
Alur hikayat “Si Miskin” beralur
maju. Hikayat tersebut menceritakan awal penderitaan Mara Karmah. Kemudian,
cerita perjalanan Mara Karmah dengan berbagai pengalaman. Terakhir,
peristiwa pemilik kebun menyakiti Mara Karmah karena dituduh mencuri.
6.
Amanat
Amanat dari cerpen “Naskah
Kehidupan” diatas yaitu kita hendaknya melihat orang orang yang tidak
seberuntung kita dan wajib untuk bersyukur dan saling menjaga kerukunan.
Sumber
: