Nama Kelompok :
1.
Vicky Andria Rabbi(2C214019)
2.
Tina Aprilia(2A214775)
3.
Syahri Fadjrin(2A214578)
4.
Vidya Asteria(2C214036)
2EB02
Anti monopoli dan persaingan tidak
sehat
1.
Pengertian
Monopoli
adalah penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas
penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku
usaha.
Praktek
monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha
yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau
jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat
merugikan kepentingan umum.
2. Azaz dan Tujuan
Menurut
Undang - undang Republik Indonesia no.5 tahun 1999 tentang larangan praktek
mnopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
ASAS
DAN TUJUAN
Pasal 2
Pelaku
usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi
ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan
kepentingan umum.
Pasal 3
Tujuan
pembentukan undang-undang ini adalah untuk :
a. Menjaga kepentingan umum dan
meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat
b. Mewujudkan iklim usaha yang kondusif
melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya
kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah,
dan pelaku usaha kecil
c. Mencegah praktek monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha
d. Terciptanya efektivitas dan
efisiensi dalam kegiatan usaha
3. Perjanjian yang dilarang
Perjanjian yang dilarang, misalnya praktek oligopoli, penetapan harga, pembagian
wilayah, pemboikotan, kartel, trust, oligopsoni, dan lain-lain yang diatur
dalam pasal 4 sampai pasal 16 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (“UU 5/1999”)
PERJANJIAN
YANG DILARANG
Bagian Pertama
Oligopoli
Pasal 4
1. Pelaku usaha dilarang membuat
perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk secara bersama-sama melakukan
penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat.
2. Pelaku usaha patut diduga atau
dianggap secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran
barang dan atau jasa, sebagaimana dimaksud ayat (1), apabila 2 (dua) atau 3
(tiga) pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% (tujuh
puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
Bagian Kedua
Penetapan Harga
Pasal 5
1. Pelaku usaha dilarang membuat
perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu
barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar
bersangkutan yang sama.
2. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) tidak berlaku bagi:
a.
suatu perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha patungan; atau
b. suatu perjanjian yang didasarkan
undang-undang yang berlaku.
Pasal 6
Pelaku
usaha dilarang membuat perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang satu harus
membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli
lain untuk barang dan atau jasa yang sama.
Pasal 7
Pelaku
usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk
menetapkan harga di bawah harga pasar, yang dapat mengakibatkan terjadinya
persaingan usaha tidak sehat.
Pasal 8
Pelaku
usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat
persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa tidak akan menjual atau memasok
kembali barang dan atau jasa yang diterimanya, dengan harga yang lebih rendah
daripada harga yang telah diperjanjikan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya
persaingan usaha tidak sehat.
Bagian Ketiga
Pembagian Wilayah
Pasal 9
Pelaku
usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan
untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan atau
jasa sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat.
Bagian Keempat
Pemboikotan
Pasal 10
1. Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian,
dengan pelaku usaha pesaingnya, yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk
melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun pasar
luar negeri.
2. Pelaku usaha dilarang membuat
perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya, untuk menolak menjual setiap barang
dan atau jasa dari pelaku usaha lain sehingga perbuatan tersebut:
a.
merugikan atau dapat diduga akan merugikan pelaku usaha lain; atau
b. membatasi pelaku usaha lain dalam
menjual atau membeli setiap barang dan
atau jasa dari pasar bersangkutan.
Bagian Kelima
Kartel
Pasal 11
Pelaku
usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang
bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran
suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Bagian Keenam
Trust
Pasal 12
Pelaku
usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan
kerja sama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih
besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup masing-masing
perusahaan atau perseroan anggotanya, yang bertujuan untuk mengontrol produksi
dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa, sehingga dapat mengakibatkan
terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Bagian Ketujuh
Oligopsoni
Pasal 13
1. Pelaku usaha dilarang membuat
perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk secara bersama-sama menguasai
pembelian atau penerimaan pasokan agar dapat mengendalikan harga atas barang
dan atau jasa dalam pasar bersangkutan, yang dapat mengakibatkan terjadinya
praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
2. Pelaku usaha patut diduga atau
dianggap secara bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila 2 (dua) atau 3 (tiga) pelaku usaha
atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen)
pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
Bagian Kedelapan
Integrasi Vertikal
Pasal 14
Pelaku
usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk
menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi
barang dan atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan
hasil pengolahan atau proses lanjutan, baik dalam satu rangkaian langsung
maupun tidak langsung, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha
tidak sehat dan atau merugikan masyarakat.
Bagian Kesembilan
Perjanjian Tertutup
Pasal 15
1. Pelaku usaha dilarang membuat
perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang
menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali
barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan atau pada tempat
tertentu.
2. Pelaku usaha dilarang membuat
perjanjian dengan pihak lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima
barang dan atau jasa tertentu harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain
dari pelaku usaha pemasok.
3. Pelaku usaha dilarang membuat
perjanjian mengenai harga atau potongan harga tertentu atas barang dan atau
jasa, yang memuat persyaratan bahwa pelaku usaha yang menerima barang dan atau
jasa dari pelaku usaha pemasok: harus bersedia membeli barang dan atau jasa
lain dari pelaku usaha pemasok; atau tidak akan membeli barang dan atau jasa
yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain yang menjadi pesaing dari pelaku
usaha pemasok.
Bagian Kesepuluh
Perjanjian Dengan Pihak Luar Negeri
Pasal 16
Pelaku
usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain di luar negeri yang memuat ketentuan
yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat.
4.
Kegiatan yang dilarang
Kegiatan yang dilarang, misalnya praktek monopoli, praktek
monopsoni, persekongkolan, dan sebagainya. (pasal 17 sampai pasal 24 UU
No 5 Tahun 1999)
Bagian Pertama
Monopoli
Pasal 17
1. Pelaku usaha dilarang melakukan
penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat.
2. Pelaku usaha patut diduga atau
dianggap melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau
jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila:
a. barang dan atau jasa yang
bersangkutan belum ada substitusinya; atau
b. mengakibatkan pelaku usaha lain
tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha barang dan atau jasa yang sama; atau
c. satu pelaku usaha atau satu kelompok
pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu
jenis barang atau jasa tertentu.
Bagian Kedua
Monopsoni
Pasal 18
1. Pelaku usaha dilarang menguasai
penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan atau jasa dalam
pasar bersangkutan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan
atau persaingan usaha tidak sehat.
2. Pelaku usaha patut diduga atau
dianggap menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) apabila satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha
menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang
atau jasa tertentu.
Bagian Ketiga
Penguasaan Pasar
Pasal 19
Pelaku
usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun
bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli
dan atau persaingan usaha tidak sehat berupa:
a. menolak dan atau menghalangi pelaku
usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha
yang sama pada pasar bersangkutan
b. mematikan usaha pesaingnya di pasar
bersangkutan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat.
Pasal 21
Pelaku
usaha dilarang melakukan kecurangan dalam menetapkan biaya produksi dan biaya lainnya
yang menjadi bagian dari komponen harga barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan
terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
Bagian Keempat
Persekongkolan
Pasal 22
Pelaku
usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau
menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan
usaha tidak sehat.
Pasal 23
Pelaku
usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mendapatkan informasi
kegiatan usaha pesaingnya yang diklasifikasikan sebagai rahasia perusahaan
sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
Pasal 24
Pelaku
usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk menghambat produksi dan
atau pemasaran barang dan atau jasa pelaku usaha pesaingnya dengan maksud agar
barang dan atau jasa yang ditawarkan atau dipasok di pasar bersangkutan menjadi
berkurang baik dari jumlah, kualitas, maupun ketepatan waktu yang
dipersyaratkan.
5.
Hal – Hal yang dikecualikan dalam UU
Anti Monopoli
Pasal 50
Yang
dikecualikan dari ketentuan undang-undang ini adalah:
a. perbuatan dan atau perjanjian yang
bertujuan melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku
b. perjanjian yang berkaitan dengan hak
atas kekayaan intelektual seperti lisensi, paten, merek dagang, hak cipta,
desain produk industri, rangkaian elektronik terpadu, dan rahasia dagang, serta
perjanjian yang berkaitan dengan waralaba
c. perjanjian penetapan standar teknis
produk barang dan atau jasa yang tidak mengekang dan atau menghalangi
persaingan
d. perjanjian dalam rangka keagenan
yang isinya tidak memuat ketentuan untuk memasok kembali barang dan atau jasa
dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan
e. perjanjian kerja sama penelitian
untuk peningkatan atau perbaikan standar hidup masyarakat luas
f. perjanjian internasional yang telah
diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia
g. perjanjian dan atau perbuatan yang
bertujuan untuk ekspor yang tidak mengganggu kebutuhan dan atau pasokan pasar
dalam negeri
h. pelaku usaha yang tergolong dalam
usaha kecil
i.
kegiatan
usaha koperasi yang secara khusus bertujuan untuk melayani anggotanya.
Pasal 51
Monopoli
dan atau pemusatan kegiatan yang berkaitan dengan produksi dan atau pemasaran barang
dan atau jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak serta cabang-cabang
produksi yang penting bagi negara diatur dengan undang-undang dan
diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara dan atau badan atau lembaga yang
dibentuk atau ditunjuk oleh Pemerintah.
6.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha
Untuk mencegah
adanya praktik monopoli dan persaingan tidak sehat dikalangan pelaku usaha,
maka UU No. 5 Tahun 1999 menyebutkan bahwa pemerintah membentuk Komisi Pengawas
Persaingan Usaha (KPPU) yang betugas menilai apakah suatu perjanjian atau
kegiatan usaha bertentangan dengan UU No. 6 Tahun 1999. KPPU merupakan
suatu lembaga independen yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan Pemerintah
serta pihak lain dan bertanggung jawab kepada Presiden (pasal 30 UU No. 5
Tahun 1999).
Dalam menilai
apakah dalam suatu merger telah terjadi praktek monopoli dan persaingan usaha
tidak sehat, KPPU berpedoman pada Pasal 3 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 57
Tahun 2010 tentang Penggabungan Atau Peleburan Badan Usaha dan Pengambilalihan
Saham Perusahaan yang Dapat Mengakibatkan Terjadinya Praktik Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat menyatakan bahwa penilaian Komisi Pengawas
Persaingan Usaha (“KPPU”) mengenai apakah suatu akusisi mengakibatkan praktek
monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat dengan melakukan analisa sebagai
berikut:
1)
Konsentrasi pasar artinya menilai apakah akuisisi dapat
mengakibatkan terjadinya Praktik Monopoli dan/atau Persaingan Usaha Tidak
Sehat.
2)
Hambatan masuk pasar artinya mengidentifikasi hambatan
masuk pasar (entry barrier) dalam pasar yang bersangkutan. Apabila di
pasar eksistensi entry barrier rendah maka akuisisi cenderung tidak
menimbulkan dugaan praktik monopoli, namum dengan eksistensi hambatan masuk
pasar yang tinggi berpotensi menimbulkan dugaan praktik monopoli
3)
Potensi perilaku anti persaingan artinya penilaian jika
akuisisi melahirkan satu pelaku usaha yang relatif dominan terhadap pelaku
usaha lainnya di pasar, memudahkan pelaku usaha tersebut untuk menyalahgunakan
posisi dominannya untuk mengambil keuntungan sebesar-besarnya bagi perusahaan
dan mengakibatkan kerugian konsumen..
4)
Efisiensi yaitu penilaian jika akusisi dilakukan dengan
alasan untuk efisiensi perusahaan. Dalam hal ini, perlu dilakukan perbandingan
antara efisiensi yang dihasilkan dengan dampak anti-persaingan yang dicapai
dalam merger tersebut. Jika nilai dampak anti-persaingan melampaui nilai
efisiensi yang dihasilkan akusisi, maka persaingan yang sehat akan lebih
diutamakan dibanding mendorong efisiensi bagi pelaku usaha.
5)
Kepailitan artinya yaitu penilaian jika akusisi
dilakukan dengan alasan menghindari terhentinya badan usaha tersebut beroperasi
di pasar. Apabila badan usaha tersebut keluar dari pasar dan menyebabkan
kerugian konsumen lebih besar, maka akusisi tersebut tidak berpotensi
menimbulkan praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
7.
SANKSI
SANKSI
Bagian Pertama
Tindakan Administratif
Pasal 47
1. Komisi berwenang menjatuhkan sanksi
berupa tindakan administrative terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan
Undang-undang ini.
2. Tindakan administratif sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dapat berupa:
a. penetapan pembatalan perjanjian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 13, Pasal 15, dan Pasal
16
b. perintah kepada pelaku usaha untuk
menghentikan integrasi vertical sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
c. perintah kepada pelaku usaha untuk
menghentikan kegiatan yang terbukti menimbulkan praktek monopoli dan atau
menyebabkan persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat
d. perintah kepada pelaku usaha untuk
menghentikan penyalahgunaan posisi dominan
e. penetapan pembatalan atas
penggabungan atau peleburan badan usaha dan pengambilalihan saham sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28
f. penetapan pembayaran ganti rugi
g. pengenaan denda serendah-rendahnya
Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp
25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah).
Bagian Kedua
Pidana Pokok
Pasal 48
1. Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal
4, Pasal 9 sampai dengan Pasal 14, 16 sampai dengan Pasal 19, Pasal 25, Pasal
27, dan Pasal 28 diancam pidana denda serendah rendahnya Rp 25.000.000.000,00
(dua puluh lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 100.000.000.000,00
(seratus miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 6
(enam) bulan.
2. Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal
5 sampai dengan Pasal 8, Pasal 15, Pasal 20 sampai dengan Pasal 24, dan Pasal
26 Undang-undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp
5.000.000.000,00 ( lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp
25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah), atau pidana kurungan
pengganti denda selama-lamanya 5 (lima) bulan.
3. Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal
41 Undang-undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp
5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda
selama lamanya 3 (tiga) bulan.
Bagian Ketiga
Pidana Tambahan
Pasal 49
Dengan
menunjuk ketentuan Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, terhadap pidana
sebagaimana diatur dalam Pasal 48 dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa:
a. pencabutan izin usaha
b. larangan kepada pelaku usaha yang
telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap undang undang ini untuk menduduki
jabatan direksi atau komisaris sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan selama-lamanya
5 (lima) tahun
c. penghentian kegiatan atau tindakan
tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian pada pihak lain.
Referensi :
UU No. 5 Tahun 1999 tentang
Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
Peraturan
Pemerintah No. 57 Tahun 2010 tentang Penggabungan Atau Peleburan Badan Usaha
dan Pengambilalihan Saham Perusahaan yang Dapat Mengakibatkan Terjadinya
Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
Sumber :
http://www.kppu.go.id/docs/UU/UU_No.5.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar